JMDN logo

"Lelanane Jangka Gunung" Mengantar Negeri Berjalan Pulang

📍 Budaya
6 September 2025
6 views
"Lelanane Jangka Gunung" Mengantar Negeri Berjalan Pulang

Magelang, 06/9 (ANTARA) - Permintaan maaf para elite penguasa karena telah mengelola bangsa dan negara secara tak pantas akhirnya bergaung setelah rakyat secara tegas meletakkan cermin agar mereka menyadari bahwa pemimpin selain legal, mestinya juga bijaksana dan berwibawa.


Tentu saja permintaan itu tak cukup hanya bergaung di langit pernyataan. Harus dilanjutkan dengan segera melalui langkah-langkah riil perbaikan yang hasilnya dinilai publik sebagai terbukti bagi kebermanfaatan dan memenuhi kebutuhan rakyat.


Seakan hendak menegaskan bahwa rakyatlah juragan mereka dan para elite sesungguhnya bekerja untuk juragan, itulah puisi tak berjudul yang dihadirkan secara lantang oleh penyair Magelang Munir Syalala.


Ia membacakan puisi itu dalam rangkaian performa ritual doa, "Lelanane Jangka Gunung", diselenggarakan Komunitas Lima Gunung di Candi Mendut dan dilanjutkan di panggung terbuka Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (4/9) petang hingga menjelang tengah malam.


Pegiat komunitas itu meliputi seniman petani berbasis dusun di lima gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) yang mengelilingi Kabupaten Magelang dengan jejaringnya di berbagai tempat, antara lain budayawan, pemerhati seni dan tradisi, pelajar, mahasiswa, dan akademisi. Munir salah satu bagian lingkaran energi komunitas tersebut.


Penggalan besar bait kedua puisi itu, "Bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Kita punya sistem. Kita punya hukum. Kita punya aparat. Tapi apakah semua itu sungguh berpihak pada kita? Atau hanya panggung besar, dan kita dipaksa jadi penonton yang bayar tiket, tanpa pernah boleh ikut menentukan ceritanya?".


Terpaan nyala api dari puluhan obor di sela-sela patung-patung batu di studio yang menjadi pusat aktivitas, perpustakaan, dan jejak komunitas, memperkuat pesan bahwa acara itu merefleksikan kegundahan rakyat yang sudah mencapai  ubun-ubun atas pengurusan negeri yang tak beres. Kegundahan itu mewujud dalam unjuk rasa setidaknya dalam dua pekan terakhir di berbagai kota maupun melalui platform-platform digital.


Bukan hanya Munir tampil malam itu. Para penyair dan pegiat seni lainnya, seperti Wicahyanti Rejeki, Novian Nugroho, Siwi Siwi Kawuryan Winangsit, Hudi Danu Wuryanto, Haris Kertarahardjo (Lie Thian Hauw), dan Danu "Sang Bintang" Wiratmoko, menghadirkan puisi-puisi dan geguritan, baik karya sendiri maupun sastrawan besar Indonesia, seperti WS Rendra, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), dan Wiji Thukul. Pembawa acara yang juga dalang Komunitas Lima Gunung, Sih Agung Prasetyo, menyebut dengan elegan malam itu sebagai "Parade puisi Lima Gunung untuk negeri".


Performa ritual "Lelanane Jangka Gunung" diawali dengan prosesi berjalan tanpa alas kaki para pegiat Komunitas Lima Gunung dari Studio Mendut menuju Candi Mendut, berjarak sekitar 300 meter. Setiap peserta jalan kaki mengenakan pakaian bernuansa serba warna putih. Sajian makanan untuk mereka yang hadir di pementasan di Studio Mendut malam itu, juga serba berwarna putih, yakni nasi gurih putih, bihun, kerupuk putih, ubi kayu, dan air putih. Simbol usaha mengatasi negeri dari keadaan muram dan keruh saat ini.


Dalam prosesi di Candi Mendut, mereka antara lain membawa kembang mawar warna merah dan putih, membunyikan kelinting, dan menyulut hio. Mereka juga membawa properti berupa tulisan-tulisan warna-warni di  kertas yang dijepit bambu, tentang tema-tema pergelaran tahunan Festival Lima Gunung yang dilakukan mandiri komunitas tersebut, selama ini.


Berbagai tema festival yang hampir semua dirumuskan dalam bahasa Jawa itu, antara lain Cokro Manggilingan Jiwo (2009), Sudro Satrio (Ngulandoro) (2010), Tembang Kautaman (2011), Ngupadi Banyu Sejati (2012), Ragam Batin Desa (2012), Mulat Kahangan Sungsang (2013), Tapa ing Rame (2014).


Selain itu, Mantra Gunung (2015), Pala Kependhem (2016), Mari Goblok Barang (2017), Masih Goblok Bareng (2018), Gunung Lumbung Budaya (2019), Donga Slamet, Waspada Virus Dunia (2020), Disrupsi Desa Kontemporer TradisiMaya (2021), Wahyu Rumagang (2022), Kalis ing Kahanan (2023), Wolak Waliking Jaman Kelakone (2024), dan Andhudhah Kawruh Sinengker (2025).


Tema-tema ini dihadirkan kembali karena nilainya dianggap penting oleh komunitas dalam kaitan dengan upaya bersama  rakyat dan elite memperbaiki keadaan negeri dari gonjang-ganjing saat ini menjadi stabil, untuk kemudian berbenah menuju gemilang.


Acara bernama "Lelana Jangka Gunung", menghadirkan imajinasi tentang peluncuran nilai-nilai kearifan, keadilan, kemakmuran, ketangguhan, dan keseimbangan yang pernah digali warga Komunitas Lima Gunung untuk hidup bernegara dan berbangsa yang menjadi baik.


Sebelum berpradaksina satu kali di pelataran Candi Mendut dalam payungan suasana langit menuju petang, para pegiat komunitas bersila secara rapi di luar pagar. Mereka menyimak dalang Sih Agung menghadirkan tembang Jawa tentang kebaikan negeri, keselamatan bangsa, dan keutamaan kehidupan.


Budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut mengulang pesan penting dalam kisah bersumber dari Kitab Jataka dan Kitab Pancatantra disimpan dalam relief Candi Mendut yang dibangun pada abad IX itu, yakni tentang seekor bulus dibantu sepasang angsa untuk terbang melihat bumi dari langit. Namun, saat di angkasa, bulus lalai atas pesan agar tetap diam dan tidak kaget. Akhirnya kura-kura itu terjatuh dan mati.


Pesan atas kisah itu mengingatkan penguasa dan elite untuk selalu rendah hati dan mawas diri supaya kepemimpinan tidak sekadar sah, akan tetapi juga tetap berwibawa dan tidak jatuh.


Keprihatinan atas keadaan negara akhir-akhir telah disampaikan Presiden Prabowo Subianto. Ia juga meminta masyarakat tetap percaya terhadap pemerintahannya dalam mengatasi situasi dan mengurus upaya perbaikan keadaan menjadi lebih baik dan mencapai kemajuan bangsa.


Dalam kapasitas mewakili seluruh anggota DPR RI, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan permohonan maaf atas kekeliruan dan kekurangan para wakil rakyat selama menjalani tugas maupun fungsi, dan untuk selanjutnya melakukan evaluasi serta perbaikan secara menyeluruh dalam waktu sesingkat-singkatnya.


"Negeri ini sedang mencari jalan pulang,” demikian satu baris lainnya dalam puisi tak berjudul tersebut.


Jalan pulang itu menuju basis semangat berbangsa Indonesia yang memberi rahmat bagi alam semesta, bertanah air Indonesia yang memberikan makanan bergizi batin secara melimpah, dan berbahasa Indonesia yang gradual sehingga memperkuat realitas keberagaman. (ANTARA/M Hari Atmoko)

📬 Berlangganan Newsletter

Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.

Berita Populer

Berita Populer